Mobil Mobil Presiden Indonesia
Hampir semua mobil kepresidenan di dunia berwarna hitam. Namun, Presiden Prabowo Subianto selalu identik dengan mobil warna putih.
Ada beberapa alasan mengapa mobil kepresidenan identik dengan warna hitam. Mengutip laman Top Gear, dalam psikologi warna, hitam berkonotasi kepada kekuatan, keanggunan, formalitas, dan kualitas lainnya. Warna hitam menunjukkan kekuatan dan otoritas.
Karena representasi makna warna yang sesuai untuk pemimpin negara tersebut, kebanyakan mobil presiden hadir dengan warna hitam. Bahkan, di Amerika Serikat, mobil kepresidenan termasuk semua kendaraan pengawalnya selalu berwarna hitam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warna hitam juga menjadi cara untuk membedakan mobil kepresidenan dengan kendaraan pemerintah lain seperti mobil polisi, pemadam kebakaran, kendaraan militer, dan sebagainya.
Warna hitam juga kerap dipilih sebagai mobil kepresidenan di Indonesia. Bahkan, Presiden ketujuh Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menggunakan mobil kepresidenan Mercedes-Benz S-Class Guard berwarna hitam. Termasuk Mercedes-Benz S-680 Guard generasi W223 terbaru yang dipakai Jokowi saat menghadiri pelantikan Presiden akhir pekan kemarin.
Meski mobil kepresidenan identik dengan warna hitam, ada beberapa petinggi negara yang juga memilih mobil warna putih. Contohnya petinggi negara Singapura yang beberapa kali menggunakan mobil warna putih.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto tampaknya memilih putih sebagai warna favorit untuk kendaraannya. Mobil-mobil pribadi milik Prabowo identik dengan warna putih. Tak heran, saat arak-arakan menuju Istana Kepresidenan usai pelantikan akhir pekan kemarin, Prabowo menggunakan MV3 Garuda Limousine berwarna putih. Kendaraan pengawalnya pun pakai warna putih.
Marketing Director PT Toyota-Astra Motor (TAM), Anton Jimmi Suwandy, mengakui bahwa Presiden Prabowo memang menyukai mobil-mobil dengan kelir putih. Mobil-mobil buatan Toyota yang dibeli Prabowo pun selalu berwarna putih.
"Setahu saya, Pak Prabowo memang suka mobil warna putih ya. Baik Lexus dan Toyota selalu belinya warna putih yang kita tahu," ungkap Anton kepada wartawan di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, belum lama ini.
Mobil kepresidenan Indonesia adalah mobil dinas resmi yang digunakan oleh Presiden Republik Indonesia. Mobil dinas biasanya digunakan untuk kegiatan resmi, penyambutan tamu negara atau kegiatan-kegiatannya. Kendaraan yang digunakan umumnya memiliki spesifikasi khusus yang telah ditentukan untuk memenuhi standar keamanan dan kenyamanan untuk seorang Presiden. Pada saat ini, mobil dinas kepresidanan yang digunakan adalah Mercedes-Benz S600 Guard.[1]
Mobil kepresidenan Indonesia mulai digunakan pertama kali oleh Presiden Soekarno. Di Indonesia, mobil bernilai sejarah saat ini disimpan di Museum Gedung Joang 45, Jakarta. Di antaranya adalah Mobil Buick-8 dan DeSoto sebagai kendaraan dinas pertama Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama Soekarno dan Mohammad Hatta.
Mobil Presiden Pertama RI Soekarno menggunakan mobil buatan Amerika Serikat, Buick-8. Mobil Presiden Sukarno itu diketahui merupakan tipe Limited-8, yang dibuat pada 1939. Buick-8 bukan mobil biasa, di zamannya ini cukup tangguh karena dibenamkan mesin bertenaga 5.247 cc.[2]
Kisah mobil ini menjadi mobil kepresidenan cukup menarik. Mobil ini ditemukan pada tahun 1945 di belakang kantor Departemen Perhubungan Masa Pendudukan Jepang (Sekarang kantor Direktorat Jendral Perhubungan Laut, Jalan Merdeka Timur, Jakarta) oleh Sudiro, ketua Barisan Banteng. Ia sendiri paham bahwa mobil Buick-8 itu tidak hanya sembarang mobil, konon mobil itu adalah mobil terbagus di Jakarta saat itu. Tokoh pejuang Kemerdekaan Indonesia tersebut lantas mendekati sopirnya dan membujuknya pulang ke kampungnya di Kebumen, meminta kunci dan mempersembahkannya kepada Presiden Soekarno, sebagai kendaraan yang dirasa pantas untuk dinasnya sebagai Presiden dengan nomor polisi Rep-1.[3]
Mobil ini, modelnya masih tampak berwibawa dan mengesankan meski berumur puluhan tahun. Ada selembar kaca yang memisahkan penumpangnya dengan pengemudi yang dapat dibuka dengan sebuah tuas yang diputar. Mobil ini adalah mobil type Limited-8, mobil utama Buick yang dikeluarkan pada 1939 Bukan Buick yang sifatnya seperti biasa yang dikeluarkan pada tahun 1931.[4]
Mobil DeSoto keluaran 1942 ini digunakan Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Berbeda dengan mobil Buick-8 yang merupakan hasil temuan di jalan, mobil ini hadiah dari pengusaha Djohan Djohor, pengusaha sukses di Jakarta masa itu dengan maksud untuk membantu memobilisasi perjuangan disamping menghindari perampasan dari pihak Pendudukan Jepang di Indonesia. Mobil inilah yang digunakan Mohammad Hatta dalam melaksanakan jabatannya sebagai Wakil Presiden baik di Jakarta maupun Yogyakarta. Mobil ini sempat berpindah tangan dan oleh pemiliknya digunakan sebagai angkutan umum (oplet). Namun kemudian dibeli kembali oleh Mohammad Hatta dan direstorasi kembali dengan bantuan pengusaha Hasyim Ning. Itulah sebabnya mobil yang bernomor polisi Rep-2 ini, yang sudah menggunakan transmisi otomatis kondisinya tidak sebaik Buick-8 Rep-1 itu. Pada mobil ini, seperti buick-8, terdapat sekat kaca yang memisahkan sopir dengan para penumpangnya. Berbeda dengan Buick-8 yang masih bisa digunakan, mobil DeSoto ini sudah tidak bisa digunakan lagi.[5]
Tidak hanya itu saja, beberapa mobil Presiden Sukarno lain yang dipakai untuk dinas adalah Cadillac 75, Mercedes-Benz 600, GAZ 13, Zil 111, Lincoln Cosmopolitan (limosin cabrio) dan Chrysler Imperial. Mobil bersejarah ini kini disimpan di Museum Gedung Joang 45 Menteng 31, Jakarta. Kondisinya cukup apik dengan warna hitam mentereng.[6]
masa kepemimpinan Presiden Soeharto, mobil kepresidenan yang dipakai adalah Mercedes-Benz 500SEL. Mercedes-Benz 500SEL memiliki spesifikasi keamanan tingkat tinggi. Mobil ini juga pernah digunakan Presiden AS Bill Clinton hingga Ratu Elizabeth II. Mobil Kepresidenan Soeharto juga telah dilengkapi kaca anti peluru. Belum lagi pada bagian bodi dilapisi baja dan platina hitam, sehingga tahan serangan peluru, mortir dan guncangan. Mercedes-Benz 500SEL mengusung mesin M117.963 delapan silinder berkapasitas 5 liter, yang mampu melaju hingga kecepatan 220 km/jam.[7] Mobil Kepresidenan Soeharto telah dilengkapi kaca antipeluru. Belum lagi pada bagian bodi dilapisi baja dan platina hitam, sehingga tahan serangan mortir dan guncangan. Mercedes-Benz 500SEL mengusung mesin M117.963 delapan silinder berkapasitas 5 liter, yang mampu melaju hingga kecepatan 220 km/jam. Pada tahun 1994, kala itu Soeharto mengganti mobil kepresidenannya menjadi Mercedes-Benz S600 dikarenakan mobil-mobil sebelumnya sudah usang.[8]
Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, mobil Mercedes-Benz S600, menjadi warisan bagi presiden-presiden lainnya mulai dari Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), kemudian Abdurahman Wahid atau Gus Dur (1999-2001), dan Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Di awal Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, dia juga sempat merasakan ketangguhan Mercedes-Benz S600. Di masanya, mobil ini sudah tergolong sangat canggih, karena dilengkapi kaca dan bodi antipeluru, serta tahan dari serangan mortir atau granat.[9]
Saat ini Presiden Indonesia (Joko Widodo) menumpangi salah satu dari beberapa Mobil Pengawal yakni Mercedes-Benz S600 Guard berplat nomor "RI 1" atau "INDONESIA 1". dan kadang-kadang bendera Indonesia dipasang di samping kap mesin pada saat acara-acara resmi. Wapres Indonesia juga menumpangi mobil dan atribut yang serupa dengan Mobil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden RI, dikawal Paspampres dengan sejumlah mobil tergantung dari detail keamanannya, dimana Mobil Pengawalannya mayoritas terdiri dari Mercedes-Benz G-Class, Nissan X-Trail, Toyota Fortuner, dan Toyota Land Cruiser model serta Volkswagen Caravelle yang membawa perangkat jammer komunikasi. Selain mobil pengawal, Didalam Pengawalan tersebut juga mengikutsertakan beberapa Van Toyota Hiace untuk membawa rombongan dan tambahan aparat keamanan di motor Yamaha FZ1.
Terdapat Juga Mobil Kepresidenan lainnya seperti BMW 760Li Security, BMW X5 Security, Mercedes-Benz S-Class yang Terbaru, Toyota Land Cruiser, dan model Volkswagen Caravelle dan Toyota Alphard yang baru saja diakuisisi, semuanya dilindungi oleh bahan berlapis baja dan rata-rata berwarna hitam. Mobil-mobil ini juga dipakai untuk kedatangan pejabat asing.
Untuk perjalanan ke luar Jakarta model SUV lebih diutamakan daripada sedan sejenis Mercedes. Selama latihan militer, presiden Indonesia mengendarai kendaraan lapis baja berplat nomor 'INDONESIA 1", biasanya di Anoa. Presiden petahana Joko Widodo lebih suka menggunakan Volkswagen Caravelle atau Toyota Land Cruiser yang baru diakuisisi untuk perjalanan di luar Jakarta. BMW X5 yang tua terutama digunakan oleh mantan presiden Indonesia saat itu (Susilo Bambang Yudhoyono) selama banjir Jakarta 2007.
Para menteri kabinet Indonesia Maju menumpangi sebuah model Toyota Crown hitam, sebagai penunjang kerja para Menteri, yang biasanya dikawal oleh kendaraan Nissan X-Trail atau Toyota Fortuner hitam. Kendaraan Polri, baik motor maupun Nissan X-Trail selalu hadir di semua iring-iringan menteri kabinet.
Di Indonesia, mobil nasional (disingkat mobnas) umumnya merujuk pada mobil yang dikeluarkan BUMN atau perusahaan swasta lokal yang desainnya, komponennya, atau mereknya berasal dari dalam negeri[1] dan produksinya dilakukan di dalam negeri.[2] Karena itulah, mobil nasional dalam beberapa kasus dapat diberi hak istimewa dengan keputusan hukum atau keberpihakan khusus dari pemerintah, entah itu bebas pajak, hak khusus atau berbagai insentif. Istilah mobil nasional baru populer pada 1990-an, seiring hadirnya beberapa konsep seperti Maleo dan Timor.
Mobil nasional merupakan suatu cita-cita lama yang sudah ada sejak dari zaman dahulu. Kehadiran mobil nasional (maupun proyek lain seperti pesawat nasional) dianggap sebagai bukti kemajuan pesat dalam ekonomi nasional dan Indonesia telah menjadi negara yang bebas dari pengaruh asing.[3][4] Mobil nasional dianggap reaksi sebagai perkembangan industri otomotif nasional, yang walaupun sudah merakit mobil sendiri, faktanya masih memiliki komponen lokal yang rendah dan didominasi merek asing, terutama asal Jepang.[5] Apalagi, jika melihat keberhasilan industri di negara tetangga seperti Proton Malaysia, tentu akan membuat orang berpikir pentingnya mobil buatan dan merek sendiri.[6] Akan tetapi, bagi beberapa orang juga, "mobil nasional" dianggap sulit sejalan dengan globalisasi,[7] dan terkesan mendompleng nasionalisme bagi keuntungan sesaat.[8] Meskipun ide dan klaim "mobil nasional" sudah dimulai sejak lama, dari era Toyota Kijang, mobil Timor sampai Esemka baru-baru ini, namun saat ini masih belum ada mobnas yang benar-benar diproduksi massal/mendapat penerimaan luas di Indonesia. Versi-versi "mobil nasional" yang pernah muncul beragam, ada yang mengusung brand luar negeri, rebadge mobil luar negeri, sampai yang benar-benar produksi dan desain sendiri. Namun, tidak pernah ada mobnas yang memiliki 100% komponen lokal.
Perkembangan mobil nasional sudah dimulai sejak era Presiden Soekarno, dengan pendirian PT Industri Mobil Indonesia (Imindo) hasil kerjasama pemerintah dan swasta pada tahun 1961, dengan target 15.000 kendaraan/tahun berupa sedan dan bus.[9] Kemudian di era Orde Baru, ide ini berusaha diwujudkan dengan melarang mobil impor penuh (tidak dirakit di Indonesia) pada awal 1970-an, kemudian dilanjutkan kebijakan KBNS (kendaraan bermotor niaga sederhana) untuk mendorong mobil berkomponen lokal tinggi. Mobil nasional baru lahir kembali ketika 1990-an dengan munculnya kebijakan Inpres No. 2/1996 ("Pembangunan Industri Mobil Nasional")[2] yang melahirkan Timor, dimana kebijakan ini bisa dikatakan merupakan upaya resmi pertama bagi melahirkan mobnas bermerek dalam negeri (bukan sekadar tuntutan komponen lokal), meskipun harus berakhir dengan krisis moneter dan tentangan WTO. Kemudian, saat ini mobil nasional umumnya digerakkan oleh perusahaan kecil maupun menengah, dengan menghadirkan marque baru seperti Esemka, Marlip dan Tawon yang umumnya tidak selalu sukses. Replikasi dari kebijakan KBNS diwujudkan pemerintah dengan adanya LCGC (Low Cost Green Car) yang sejak 2013 banyak dikembangkan produsen merek-merek Jepang.[10] Selain itu, insentif juga pernah dikeluarkan, seperti pada tahun 2012, pemerintah menyediakan dana Rp 144 miliar untuk program transportasi umum murah di pedesaan.[11]
Beberapa contoh spesifikasi dari mobil nasional yang pernah diajukan pemerintah:
Meskipun merek Toyota berasal dari Jepang, tetapi pembuatan dan perakitan mobil ini semuanya dilakukan di Indonesia. Mobil ini diluncurkan pada tanggal 9 Juni 1975 dalam ajang Pekan Raya Jakarta 1975. Peluncuran mobil ini dihadiri oleh Presiden RI, Soeharto, dan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Mobil ini telah mempunyai total penjualan sampai 1 juta unit sejak diluncurkan pada tahun 1975. Mesinnya berkapasitas 1200 cc, yang pada saat itu digunakan juga oleh Toyota Corolla, yang pada zamannya merupakan teknologi baru di industri kendaraan buatan Indonesia. Semua komponen bodi dan mesinnya berasal dari Indonesia.
Mobil ini merupakan salah satu mobil buatan Indonesia yang mampu berjaya sampai saat ini dengan nama Toyota Kijang Innova Zenix serta dengan penjualan yang bahkan jauh melewati batas negara Indonesia. Dari situlah, titik balik itu merupakan akar dari pertumbuhan mobil nasional Indonesia yang selanjutnya diteruskan oleh mobil-mobil lainnya.
PT Garuda Makmur (GARMAK) Motor, ATPM General Motors di Indonesia yang dikendalikan Probosutedjo, menyambut kebijakan KBNS (Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana) pemerintah pada 1975 dengan mengeluarkan mobil "Mitra" (Mini Transportasi Rakyat) untuk bersaing dengan Kijang. Mobil yang kemudian namanya diganti menjadi Morina (Mobil Rakyat Indonesia) ini awalnya diluncurkan dalam model truk pada 11 Juni 1976 dengan komponen 40% lokal (diniatkan menjadi 60%), dengan harga Rp 1,25 juta untuk masyarakat pedesaan. Morina sebenarnya adalah proyek dari General Motors bernama Basic Transport Vehicle yang dipasarkan di berbagai negara dengan nama berbeda. GM menyediakan komponennya, sedangkan pengembangan dan perakitannya dilakukan oleh anak usaha/agen GM di negara-negara tersebut.[12] Morina sayangnya tidak sukses dan berakhir produksinya pada tahun 1980 setelah mencapai 1.000 unit.[13]
Pada tahun 1996, Probosutedjo pernah mengungkapkan niatnya kembali untuk membangun mobnas pasca munculnya Timor bekerjasama dengan GM, namun tidak terwujud.[14]
Layaknya Kijang dan Morina, VW Mitra juga merupakan respon ATPM-nya PT Garuda Mataram Motor akan kebijakan KBNS. Mitra merupakan singkatan dari "Mini Transport Rakyat". Mitra memiliki mesin 1600 cc, dengan mengklaim sebagai Kendaraan Pertama Buatan Indonesia. Volkswagen memproduksi mesin dan badannya, sedangkan PT Pindad memproduksi sasis, dengan komponen lokal mencapai 40%. Pindad ditunjuk karena memang Garuda Mataram adalah perusahaan TNI Angkatan Darat. Modelnya ditawarkan dalam beberapa jenis, seperti untuk ambulans, boks, bis, kabin dan lainnya. Mitra kebanyakan dibeli oleh pejabat dan instansi pemerintah untuk kebutuhannya, sehingga penjualannya tidak terlalu banyak, hanya 900 unit. Pada tahun 1976, Mitra mulai dikembangkan menjadi minibus dengan 60% komponen lokal, namun tetap kurang sukses hingga dihentikan produksinya pada 1979.[15][16][17]
Meskipun mobil ini hanya rebadge dari Datsun 1200 AX (yang diedarkan di Thailand) demi menjawab kebijakan KBNS pemerintah, namun Datsun Sena (singkatan dari serbaguna) berbentuk pikap sudah memiliki komponen lokal 50%-75% yang diproduksi oleh PT Indokaya Nissan Motor. Mobil ini berhenti dijual setelah muncul sengketa antara Indokaya dan Nissan yang mengalihkan ATPM ke PT Wahana Wirawan. Produksinya berlangsung dari 1977-1981, mencapai 250 unit/bulan.[18][19][20]
ATPM Holden di Indonesia, PT Udatimex dan manufakturnya PT Indauda menjawab kebijakan KBNS dengan nama Holden Lincah (kemudian diganti menjadi Holden Lincah Gama). Holden Lincah masuk ke pasaran dalam negeri pada 1980-an, awalnya didesain berbentuk pikap namun dirombak kemudian menjadi mirip jeep. Holden Lincah modelnya diambil dari Holden Jackaroo/Chevrolet Trooper, namun memiliki beberapa ciri yang berbeda, seperti lampu kotak dan produksinya yang dikerjakan karoseri. Holden Lincah juga dikenal dengan nama lain seperti Holden Lincah Raider di Jawa Timur. Holden Lincah juga sempat dikembangkan menjadi sedan dengan komponen lokal mencapai 80% dan SUV berbahan fiberglass. Holden Lincah hanya terjual ratusan unit dan kurang sukses hingga pengedarannya dihentikan pada 1989.[21][22]
Indomobil Group, perusahaan otomotif milik Grup Salim, pernah berminat untuk menciptakan mobil nasional versinya. Pada era 1980-an, perusahaan pimpinan Soebronto Laras dan Angky Camaro ini pernah mengusulkan Suzuki Carry yang dimodifikasi untuk menjadi mobil bermerek "Inti Mobil", dengan memanfaatkan mesin buatan lokal 1000 cc berbadan fiberglass, namun gagal karena mahalnya biaya administrasi senilai US$ 5 juta. Selain mobil tersebut, Soebronto juga tertarik bekerjasama memproduksi Reliant Robin untuk pasar nasional, namun lagi-lagi mengalami tantangan serupa dari prinsipalnya di Inggris.[23] Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1990, Soebronto kembali menelurkan ide serupa, namun kali ini ia beri nama "Mobil Rakyat" atau "Mobira".[24] Soebronto saat itu merasa bahwa mobil seperti Kijang dan Suzuki Carry lebih mirip mobil niaga dibanding mobil pribadi sedan di luar negeri. Untuk merealisasikan niat itu, Laras lalu bekerjasama dengan Mazda, yang hak keagenannya sudah dipegang (saat itu) oleh Indomobil. Mazda lalu memberikan hak untuk memodifikasi mobil Mazda 323 keluaran 1978-1980, yang kelak ingin diberi nama MR (Mobil Rakyat)-90 (1990-an), dan mereka bersama Sumitomo Trading Corporation mendirikan PT Mazda Indonesia Manufacturing yang pabriknya selesai dibangun pada April 1990 senilai Rp 60 miliar.[25]
Untuk memamerkan kehebatan mobil itu, Soebronto mengundang mantan pembalap Benny Hidayat untuk mengujicoba mengendarai mobil MR-90 dari Jakarta-Bandung dengan membawa beban. Tidak lupa juga, Aswin Bahar diminta menguji mobil ini, dan Hasjim Ning sebagai industriawan nasional diminta untuk menjadi bintang iklannya yang saat itu menamakan diri sebagai "Kendaraan Nasional".[26] Meskipun awalnya Presiden Soeharto menyukai mobil itu, akhirnya MR-90 tidak mendapat keringanan pajak dari pemerintah, yaitu pajak sedan 30%. Mobil tersebut akhirnya jauh lebih mahal dibanding pesaing yang seharusnya, yaitu Kijang, sementara publik tidak menyukai kendaraan yang hanya memiliki 1300 cc.[27] Sempat juga diubah namanya menjadi Mister Ninety,[23] ditransformasi menjadi Mazda Vantrend, mobil wagon namun tidak berhasil juga.[28][29] Akhirnya, pada pertengahan 1990-an, Indomobil menghentikan dan menutup produksi mobil tersebut.[25]
Meskipun demikian, seiring kehadiran Timor, Indomobil sempat meluncurkan Suzuki Baleno yang dianggap beberapa orang sebagai "mobnas" versi Indomobil.[30][31] Baleno memiliki harga yang mendekati Timor, yaitu Rp 43,5 juta dan diluncurkan pada 27 Juli 1996.[32] Indomobil kemudian menelurkan rencana menjual dua mobil bermerek Bintan dan Karimun, masing-masing sedan dan minibus dengan kandungan lokal 40% bermesin 1300-1600 cc. Kedua mobil direncanakan akan diproduksi pada 1999 setelah Indomobil membangun pabrik senilai US$ 1,2 miliar,[32][33][34] namun sayangnya gagal akibat krismon yang ikut menimpa Indomobil dan hanya menjadi wacana saja.
Pada tahun 1992, Kalla Motors (perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla) pernah menelurkan ide membuat mobil SRI-500 (Sedan Rakyat Indonesia-500). Proyek ini dipimpin oleh Halim Kalla, adik JK bersama alumni sekolah jurusan rekayasa otomotif State University of New York, Amerika Serikat dengan mesin 500 cc. Mesinnya diperoleh dari Lombardini Italia, sedangkan teknologinya menggunakan transmisi otomatis dan mempunyai 80% kandungan lokal. Diproyeksikan dengan harga Rp 10 juta, mobil ini sayangnya tidak masuk tahap produksi dan hanya dibuat beberapa unit saja, salah satunya pernah dipajang di Taman Mini Indonesia Indah.[35][36]
Menristek B.J. Habibie, BPPT,[37] bersama Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), mengusulkan proyek mobil nasionalnya (awalnya dikenal sebagai Mobil Masyarakat Murah)[38] mulai tahun 1993. Mobil itu diberi nama Maleo, sesuai dengan burung endemik di Sulawesi, tempat Habibie berasal. Maleo awalnya merupakan proyek rebadge Rover 100 (Austin Metro) yang diperkirakan akan diimpor sebanyak 10.000 unit, bermesin 1100-1300 cc. Rencananya, saat itu mobil Rover akan diimpor ke Indonesia untuk dibongkar dan dipelajari komponen-komponennya, dan dikembangkan mulai Februari 1994.[1] Sempat kemudian direncanakan akan dirakit di Indonesia pada pertengahan 1997,[39] usaha tersebut gagal, sehingga versi baru Maleo mulai dikembangkan.
Versi baru ini berusaha didesain dari dalam negeri oleh PT Pindad dan IPTN (keduanya di bawah BPIS) pada 1993,[40] berkerjasama dengan perusahaan Australia Millard Design Australia Pty. Ltd.[41][42] Sedangkan mesinnya juga dari kerjasama bersama perusahan Australia lainnya, Orbital Engine Company (OEC), dengan mesin 2-tak 1200 cc. Mesin 2-tak digunakan karena harganya lebih murah, model lebih sederhana dan bobotnya lebih ringan. Maleo ditargetkan memiliki komponen lokal lebih dari 67% yang akan naik menjadi 80%, dengan target awal produksi 4.000 unit pasca diluncurkan, lalu menjadi 15.000 unit, dan kemudian 60.000 unit pada 2002 dengan harga Rp 25 juta untuk menyentuh masyarakat kelas bawah. Maleo kemudian ditargetkan untuk meluncur pada April 1997, dan diproduksi akhir 1998 dalam 4-5 varian. Diperkirakan, ada 5 mobil prototipe Maleo yang sudah diproduksi di Australia.[41]
Meskipun pemerintah kemudian lebih mengutamakan Timor, BPIS tetap melanjutkan programnya[43] walaupun tersendat-sendat.[44] Untuk membantu pengembangan dan produksinya, tim Maleo berencana bekerjasama dengan Hema Hodiroglik Maknasan VE Turki, perusahaan Spanyol dan Italia, bekerjasama dengan Texmaco untuk membuat model 800-1200cc dan berbagi sarana produksi,[41][45] dan hendak membentuk PT Industri Mobil Indonesia demi bekerjasama dengan Timor atau merger dengannya.[46][47] Sayangnya, akhirnya proyek Maleo harus dihentikan seiring dengan krismon 1998.[48][49] Maleo juga gagal karena mesin mobil yang diusulkan Orbital tidak terwujud sama sekali.[41]
Konglomerasi Grup Bakrie melalui Bakrie & Brothers pernah menyiapkan mobil nasional versinya. Dimulai ketika tahun 1992, anak usaha Bakrie bernama Bakrie Motor, melakukan kerjasama dengan Global Automotive Design and Technology (GADAT) yang berbasis di Singapura untuk melakukan riset tentang pasar, kompetitor, sumber daya, dll. Bakrie saat itu memiliki visi ambisius, ingin memasarkan produk mobilnya ke kawasan ASEAN, Amerika Latin dan Eropa. Tidak seperti pabrikan lain yang bekerjasama dengan perusahaan asing atau me-rebadge mobil luar negeri, desain Bakrie benar-benar dimiliki hak ciptanya oleh mereka sendiri, dan dibuat bersama oleh Bakrie Motor, Land Rover[50] dan rumah desain Shado asal Inggris.[51] Aburizal Bakrie beralasan, karena mereka tidak hanya ingin menjadi penjual mobil, tetapi bisa mendesain sehingga menjadi kebanggaan nasional.[52]
Ketika desain selesai pada April 1995, Bakrie lalu menggandeng sejumlah perusahaan, seperti Peugeot-Citroen untuk mesinnya dan Kayaba untuk shock breaker, ditambah komponen produksi sendiri seperti cakram (dari Bakrie Tosanjaya) dan panel-panel mobil. Mobil bermesin 2000 cc ini memiliki sekitar 40% komponen lokal dengan 10% untuk mesinnya. Komponen lokalnya ditargetkan naik menjadi 50% di tahun pertama dan 60% di tahun ketiga.[53] Pada 1996, sudah terdapat 7 prototipe mobil yang diproduksi; 4 untuk tes jalan dan sisanya statis, dan kemudian diujicoba di Leyland Technical Center, Inggris, dan rencananya pada Juni 1997 sudah bisa diproduksi massal (yang kemudian mundur ke 1998).[54] Pada akhirnya, mobil minibus yang awalnya hendak diberi nama "Bakrie" ini[52] kemudian diluncurkan pada Desember 1997 dengan nama "BETA 97" di Jakarta Convention Center, dengan harga Rp 38,5-60 juta.[55] Sayangnya, belum sempat keluar, proyek ini tersandung krisis moneter tahun 1998 sehingga tidak jadi dilanjutkan.
Dibandingkan proyek-proyek mobil nasional yang ada sebelumnya atau kemudian, Timor bisa dikatakan merupakan yang paling terkenal. Proyek Timor berakar dari keluarnya Inpres No. 2/1996 yang dikeluarkan pada 19 Februari 1996, yang secara dasar meminta pemerintah (dalam hal ini kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal) menghapuskan pajak impor dan barang mewah (kira-kira 60%) bagi produk kendaraan yang mereknya dari lokal, kepemilikannya 100% orang Indonesia, memenuhi tingkat komponen dalam negeri tertentu dan menggunakan teknologi lokal. Mobil nasional saat itu ditargetkan memiliki komponen lokal yang naik dari 20, 40 dan terakhir ke 60 persen selama 3 tahun.[56] Akan tetapi, beberapa saat kemudian, dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.01/1996, yang ditunjuk menjadi pelaksana proyek mobnas adalah PT Timor Putra Nasional (TPN), yang didirikan pada Agustus 1995 dan 99% sahamnya milik Hutomo Mandala Putra (Tommy).[44][57] Menurut salah satu pejabat di pemerintah Soeharto, Tommy dipilih karena ia bersama Kia yang digandengnya hanyalah yang berminat mengikuti proyek tersebut.[58]
Sebenarnya, kerjasama antara Kia dan Tommy (dibawah Grup Humpuss miliknya) sudah dijalin sejak 1993, dengan saat itu direncanakan untuk membangun pabrik Kia di Cikampek, Jawa Barat. Berkongsi dengan PT Indauda (bekas pabrik perakitan Holden), Tommy mendirikan PT Indauda Putra Nasional Motor, untuk merakit mobil Kia Sephia dan Pride menggunakan komponen lokal 100% mulai 1995.[59] Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Kia Timor Motors, dengan kepemilikan serupa yaitu 30% milik Kia, 35% milik PT TPN/Tommy, dan sisanya PT Indauda. PT Kia Timor Motors kemudian ditargetkan untuk menjadi pabrikan mobil Timor, diganti dari merek Kia sebelumnya.[60][61] Akan tetapi, karena pada saat Timor ditunjuk pabriknya belum selesai dibangun, tiba-tiba pemerintah Orde Baru (lewat Keppres No. 42/1996 di Juni 1996) mengizinkan Timor untuk mengimpor mobil langsung dari Korea Selatan, selama setahun dengan syarat harus memiliki komponen lokal dan lainnya seperti pekerja Indonesia yang digunakan di pabrik Kia Korsel.[56][62] Unit mobil "nasional" (impor) Timor pertama masuk pada Agustus 1996.[63]
Tommy lalu mendirikan dua anak usaha baru sebagai pelengkap PT Kia Timor Motors dalam pelaksanaan proyek mobil nasional, yaitu PT Timor Distributor Nasional (distributor) dan PT Timor Industri Komponen yang direncanakan memproduksi komponen Timor. Mobil Timor kemudian diluncurkan langsung oleh Tommy pada 8 Juli 1996 dengan kemudian dipamerkan di 22 mal di Jakarta,[64] dengan model pertama Timor S515 adalah rebadge Kia Sephia 1995. Timor S515 rencananya akan dikirim ke konsumen mulai Oktober 1996 dengan harga awal Rp 35,75 juta, lebih murah setengahnya dari mobil sejenis seperti Toyota Corolla. Uniknya, walaupun diklaim sebagai "mobnas", di beberapa dealer justru beberapa mobil Timor diberi label Made in Korea.[65] Pada tahun pertamanya, Timor menargetkan penjualan 70.000 mobil Timor S515, dan untuk melaksanakannya telah mengimpor 39.715 mobil dari Korea Selatan selama setahun (Juni 1996-Juli 1997). Awalnya, Timor direncanakan akan diproduksi secara lokal mulai Maret 1997 dengan menggandeng Indomobil dan Indauda, dan kemudian pada awal 1998 di pabriknya yang ada di Cikampek.[61][66] Mobil rakitan lokal pertama Timor itu kemudian keluar pada 15 Maret 1997, walaupun masih banyak komponennya berasal dari luar negeri. PT TPN menargetkan komponen lokalnya menjadi 20% pada akhir 1997 dan 65% pada 2,5 tahun mendatang.[67] Meskipun partner-nya Kia kemudian terdampak dengan krisis 1997 di Korsel, namun Timor saat itu menyatakan tidak terpengaruh.[68] PT TPN bahkan juga berencana untuk melepas sahamnya di bursa saham untuk memenuhi kebutuhan dananya senilai US$ 1,3 miliar.[67]
Kebijakan mobnas Timor pun kemudian menuai polemik karena dianggap terlalu berbau KKN, apalagi mengingat Tommy tidak pernah memiliki pengalaman memproduksi mobil sebelumnya dan mobil tersebut (awalnya) hanyalah mobil impor yang diberi label "nasional".[5][69] Kritik datang dari berbagai pihak. Ekonom Widjojo Nitisastro misalnya mengkritik proyek itu, yang kemudian dibalas Soeharto agar ia dan para pakar tidak ikut campur.[70] Tidak hanya Widjojo, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad kabarnya tidak menyukai penyaluran dana untuk Timor, namun dipaksa Soeharto untuk memuluskannya.[4] Tidak lama kemudian juga, WTO, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa ikut mengkritik kebijakan itu, degan alasan melanggar prinsip perdagangan bebas karena pemerintah tidak memberi bea masuk untuk impor mobil utuh padanya, sedangkan pabrikan lain tidak.[56][64][71] Karena dianggap simbol nepotisme, Timor tidak terlalu berhasil menjual produknya.[72] Misalnya, pada Maret 1997, dari target 4.000 kendaraan yang terjual/hari, PT TPN hanya bisa menjual 2.000/hari atau setengahnya.[67] Malah, kemudian istilah "Mobnas" diplesetkan menjadi Mobil Buatan Negara Asing,[71] dan Timor diplesetkan menjadi Tommy Ingin Maya Olivia Rumantir atau Tommy Itu Memang Orang Rakus.[73] Untuk mendukung program Timor, bahkan pemerintah meminta agar Timor dijadikan mobil sedan resmi bagi pejabat dan kemudian meminta sejumlah bank BUMN/swasta untuk mengucurkan kredit senilai US$ 650 juta bagi pembangunan pabrik Timor pada 11 Agustus 1997.[4][56] Meskipun demikian, proyek mobnas Timor telah memicu keluarnya berbagai calon "mobil nasional" lainnya, seperti Bakrie Beta-97 dan Bimantara.[53] Selain itu, Timor terbilang cukup berhasil masuk dalam jajaran merek yang diperhitungkan pada 1997 karena harganya yang murah.[74]
Dalam perkembangannya, Timor mengeluarkan beberapa model, seperti S515, S516i, S513/S2 city car, SL516i limusin 4 pintu dan 6 pintu serta SW515i berbadan station wagon.[64] Model S515/515i merupakan model pertama dan yang paling dikenal sebagai "mobil Timor" atau "mobil nasional".[75] Timor sebenarnya sudah berencana mengeluarkan model lain, seperti truk dan jip, mobil van 2000 cc,[67] Timor S213i (model Timor satu-satunya yang diketahui murni lokal) desain Soeparto Soejatmo dan Zagato Italia berbentuk hatchback,[76] kemudian Timor J520 (rebadge Kia Sportage) dan Timor Borneo/Galileo.[77]
Kehadiran Timor di Indonesia harus diakhiri dengan munculnya krismon 1998. Pada Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani oleh Soeharto pada Januari 1998, IMF memaksa pemerintah mencabut aturan yang memberi hak istimewa pada proyek mobnas, dan pemerintah terpaksa mengikutinya lewat Keppres No. 20/1998 yang mencabut Keppres No. 42/1996. Akibat pencabutan itu, Timor sempat mengguggat pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[4][63][78] Pada saat yang bersamaan, sejumlah negara yang memprotes Timor, membawanya ke WTO yang kemudian memutuskan di Maret 1998 bahwa sebelum Juli 1999 pemerintah sudah menghapus aturan tersebut karena melanggar aturan WTO, yang berarti ikut memukul proyek ini.[61][79] Penjualan Timor pun jatuh pasca kekuasaan Orde Baru runtuh, dan pada Oktober 1998 pemerintah memaksa agar Timor membayar US$ 1,3 miliar biaya pajak impor dari Korea Selatan yang dulu dilakukannya. Untuk merampingkan usahanya, distributor PT Timor Distributor Nasional dan PT Timor Industri Komponen sudah dimerger dalam PT TPN pada 8 Juni 1998.[80] Timor bahkan disebutkan hendak memproduksi panci agar tetap bertahan dari krisis.[44] Dari 39.000 kendaraan yang ada di tahun itu, 15.000-nya masih teronggok tidak terjual.[81] Timor kemudian diambilalih oleh BPPN akibat tidak mampu membayar hutang bank pada 1997.[82] Akibat dari masalah itu, produksi Kia/Timor di Indonesia sempat terhambat, dan pabriknya dibiarkan terbengkalai.[83] Sempat ada rencana untuk merger antara Timor dan Texmaco untuk menyelamatkannya, namun tidak terjadi.[44] Baru pada 11 April 2000, Kia Motors menyatakan keinginannya untuk memulai kembali produksi mobil Kia di Indonesia.[84] Bisnis Timor kemudian diambil alih oleh PT Kia Mobil Indonesia (KMI) yang menjual mobil kembali dengan merek Kia,[85][86] sehingga mengakhiri peredaran "mobnas" Timor selama 3 tahun.
Tidak hanya Tommy, anggota Keluarga Cendana yang lain, yaitu Bambang Trihatmodjo dengan bendera Bimantara Citra-nya juga berusaha terjun ke bisnis mobil nasional. Dibanding dengan Tommy, sebenarnya Bambang sudah jauh lebih berpengalaman karena sudah memiliki pabrik perakitan mobil Ford sejak 1984 yang penjualannya sudah cukup baik. Bambang sendiri memiliki pabrik mobil tersebut dengan kepemilikan 38% di PT Indonesian Republic Motor Company (IRMC) yang merupakan agen tunggal Ford di Indonesia.[87] Selain itu, Bambang juga memiliki PT Lima Satria Nirwana yang bergerak di distribusi dan perakitan Mercedes-Benz.[88][89] Pada 21 April 1994, Bambang berhasil menjalin kerjasama patungan dengan Hyundai Motors Korea Selatan untuk merakit Hyundai Elantra dan Hyundai Accent di bawah PT Bimantara Cakra Nusa, yang produksinya dimulai pada Juli 1995 di Cikampek dengan target produksi 10.000 unit/tahun.[90][91]
Hanya dalam waktu setahun setelah Bambang membangun pabrik Hyundai, pada 30 Mei 1996 dalam RUPS Bimantara Citra, ia mengumumkan bahwa perusahaan bernama PT Citramobil Nasional telah diizinkan pemerintah untuk mengedarkan mobil lokal bermerek Bimantara.[92] Bambang sebenarnya sangat menginginkan fasilitas pajak dari proyek mobnas yang saat itu digadang-gadang pemerintah.[34] Menurutnya, proyek mobnas sebenarnya boleh untuk banyak perusahaan saja, dan proyek itu terkesan tidak sempurna dan monopolistik. Apalagi, menurutnya mobil Bimantara sudah memiliki komponen lokal 17%. Namun, pemerintah tidak bergeming dengan keputusannya.[56][93] Sebenarnya, pemerintah juga dapat memberikan insentif layaknya Timor kepada pabrikan mobnas lainnya, namun masih harus menunggu 3 tahun lagi (artinya di tahun 1999).[94] Konon, akibat persaingan panas antara dua anggota keluarga Cendana tersebut, Siti Hartinah (Ibu Tien) tewas tertembak ketika keduanya bertengkar hebat mengenai proyek mobnas. Ceritanya adalah, ketika Ibu Tien berusaha menenangkan mereka berdua, tiba-tiba salah satu dari mereka menembakkan pistolnya ke Tommy/Bambang yang saat itu berlindung di belakang ibu mereka (rumor ini dibantah oleh ajudan Soeharto, Sutanto yang menyatakan wafatnya Ibu Tien pada 28 April 1996 adalah karena serangan jantung).[95][96] Persaingan mereka pun makin panas, ketika pada 1997 Bimantara memprotes pemerintah yang saat itu mewajibkan Timor menjadi mobil bagi pejabat.[71] Sesungguhnya, tidak hanya Bambang saja, hasil survei pada era itu juga menemukan bahwa publik lebih menyukai Bimantara sebagai mobnas dibanding Timor.[97]
Meskipun demikian, Bambang tetap melanjutkan programnya. Pada 24 Juli 1996 (kurang dari sebulan setelah peluncuran Timor), Bimantara resmi meluncurkan mobil Bimantara Nenggala (Hyundai Elantra yang di-rebadge, mesin 1600 cc) dan Bimantara Cakra (versi rebadge Hyundai Accent, mesin 1500 cc).[32] Khusus Bimantara Cakra, sebenarnya hanya berganti nama dari Accent yang memang sudah beredar di Indonesia sejak Oktober 1995, sedangkan Nenggala merupakan keluaran baru. Dengan investasi produksi sebesar US$ 50 juta, Cakra dan Nenggala menargetkan penjualan 6.000 unit hingga akhir 1996.[34][65] Bimantara kemudian berencana untuk memperluas range mobilnya, seperti dengan kendaraan niaga dan penumpang berharga murah (Rp 20 juta) yang ditargetkan akan keluar pada 1999.[98] Target lainnya adalah 60% komponen lokal (dari 20% pada 1997) dan 100.000 kendaraan Bimantara pada 1998,[53][99] dan akan membangun pabrik lain di Purwakarta sebesar US$ 400 juta yang diperkirakan selesai pada kuartal ketiga 1998.[34][100] Cakra dan Nenggala dijual dari Rp 40 dan 65 juta/unit,[101] yang kemudian untuk bersaing dengan Timor, diturunkan masing-masing menjadi seharga Rp 38 dan 56 juta.[102][103] Tidak hanya itu juga, Bimantara pun banyak menargetkan pasar pejabat, layaknya Timor.[104]
Akibat krismon pada 1998, produksi dan kerjasama Bimantara Cakra dan Nenggala pun harus dihentikan sementara, termasuk rencana pendirian pabrik di Purwakarta.[105][106] Tidak lama setelah Soeharto jatuh, sempat dikabarkan bahwa Hyundai memutus kerjasama dengan Bimantara dalam penjualan dan manufaktur mobil Hyundai di Indonesia,[107][108] namun kemudian tetap dipertahankan pada 1999 meskipun harus menghentikan pengedaran mobil bermerek Bimantara yang dikembalikan ke nama aslinya.[109][110] Dua tahun kemudian (2001), Bimantara juga melepas bisnis otomotifnya ke pemilik lain, yang berarti mengakhiri kepemilikannya atas hak keagenan Hyundai.[111] Dengan begitu, berakhirlah kiprah Bimantara sebagai salah satu calon mobil nasional selama 3 tahun.
Macan adalah kendaraan berjenis minibus atau MPV dengan kapasitas mesin 1800 cc dari PT Texmaco. Dalam mengeluarkan mobil ini PT Texmaco menggandeng Mercedes-Benz, tercatat satu unit prototipe sudah dipamerkan di arena Pekan Raya Jakarta pada pertengahan tahun 2001. Selain itu, mobil yang juga diberi nama "Carnesia" (Car of Indonesia) ini juga dipamerkan pada Jakarta Motor Show 2002 dan Gaikindo Auto Expo. Mobil ini rencananya akan dijual dengan harga Rp 100 juta ke bawah. Selain MPV, Texmaco juga diketahui sempat mengembangkan mobil sedan kecil 1000 cc.[112][113]
Selain Macan, PT Texmaco juga mengeluarkan Truk Perkasa yang merupakan satu-satunya kendaraan jenis truk yang diproduksi oleh perusahaan Indonesia. Truk ini mempunyai kandungan lokal mencapai 90%. Mesin diesel yang digunakan adalah lisensi dari Cummins Amerika, persneling ZF dari Jerman, gardan (axle) dari Eston Amerika serta badan adalah lisensi dari British Leyland (Inggris). Tercatat TNI telah memesan 1.000 unit dan sampai tahun 2009 truk ini masih operasional. Truk Perkasa diproduksi sejak 1998, dan pada 2001 sudah diproduksi 300 unit.[114] Tidak hanya truk, Texmaco lewat PT Wahana Perkasa Autojaya juga memproduksi bus sejak 2001 yang tercatat diekspor ke Arab Saudi. Bus Texmaco ini pada 2002 disebutkan akan diproduksi 12.000 unit, dengan 2.000-nya sudah terpesan dari dalam dan luar negeri.[115][116][117]
Sayangnya, kelompok bisnis milik Marimutu Srinivasan ini kemudian terjerat hutang Rp 29,04 triliun, yang menyebabkan asetnya diambil alih BPPN. Texmaco dan BPPN kemudian terlibat persengketaan dan kredit macet tersebut tidak terselesaikan.[118][119] Akibatnya, produksi truk-bus Perkasa yang bisa dikatakan salah satu mobnas yang cukup sukses dan rencana produksi MPV Macan pun terhenti sejak 2004.
Kancil (singkatan dari Kendaraan Niaga Cilik Irit Lincah) merupakan merek dagang terdaftar dari sebuah kendaraan angkutan bermotor roda empat yang didesain, diproduksi dan dipasarkan oleh PT KANCIL (singkatan dari Karunia Abadi Niaga Citra Indah Lestari). Pernah diharapkan sebagai pengganti bajaj dan bemo karena keduanya tidak diizinkan untuk bertambah jumlahnya atau diproduksi di wilayah Jakarta. Sayang, Kancil tidak mendapat tanggapan yang cukup baik dari pemkot Jakarta ataupun masyarakat. Kancil memiliki spesifikasi mesin 250 cc (15,3 cu in) dan kecepatan masimal 70 km/jam.[120] NIK (Nomor Identifikasi Kendaraan)/Vehicle Identification Number-nya telah dirilis pada bulan Oktober 2009.[121]
Gang Car adalah sebuah mobil mini berkapasitas 2 orang buatan PT Dirgantara Indonesia yang ditenagai mesin 125-200 cc. Mobil ini didesain untuk berukuran cukup kecil sehingga bisa beroperasi di gang-gang sempit di daerah perkotaan (maka dari itu dinamakan Gang Car). Proyek ini tidak pernah terdengar lagi kabarnya sejak tahun 2003 setelah PT DI dilanda kemelut dan merumahkan 6.000-an karyawannya. Tercatat, ada 4 model Gang Car yang sempat dibuat, yang kemudian dihibahkan ke Kemendikbud pada 2012.[122]
Marlip adalah mobil listrik produksi dari PT Marlip Indo Mandiri. Perusahaan ini adalah perusahan yang didirikan melalui hasil riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang memproduksi mobil listrik. PT MIM memfokuskan usahanya untuk memproduksi kendaraan listrik kegunaan khusus yang dapat digunakan di rumah sakit, padang golf, area pabrik, perkantoran, lapangan bola, area hotel/resor, tempat-tempat wisata dan sejenisnya.
Jenis-jenis Marlip adalah Marlip Mosen Standar (mobilisasi pasien), Marlip R410 yang menggunakan ban dan pelek buatan APEX, Marlip Smart (untuk area perumahan dan perkantoran), Marlip City Car (mobil perkotaan), Marlip LE 320 & LE 330 (lapangan golf, patroli, wisata), Marlip tipe Hercules (area hotel, perkantoran, bandara), dan Marlip pikap.
Dibuat oleh PT Boneo Daya Utama milik Ronny HRS,[123] mobil micro car ini dibuat dalam versi penumpang dan pikap, bermesin mesin V-Twin berkapasitas 653 cc yang bisa mengeluarkan tenaga 15,3 kW dan torsi 44,3 Nm. Mobil ini sayangnya hanya sampai pada tahap prototipe saja.[124]
Arina adalah karya putra-putri Jawa Tengah, hasil kerjasama PT Wahana Cipta Karya Mandiri dengan stake holder industri otomotif Jawa Tengah, antara lain ASKARINDO (Asosiasi Karoseri Indonesia), klaster industri komponen dan suku cadang Jateng, BP Dikjur, Koperasi Cor Logam Batur Jaya (Ceper-Klaten), serta beberapa perguruan tinggi, antara lain Universitas Negeri Semarang (Unnes), Politeknik Manufaktur Ceper, dll.
Arina adalah mobnas berbentuk microcar dengan tenaga penggerak dari mesin Sepeda motor berkapasitas 150 cc sampai 250 cc. Mobil mikro ini berkapasitas 4 orang penumpang. Varian dari prototipe pertama Arina berupa UPV (Urban Personal Vehicle) yang didedikasikan bagi penduduk perkotaan yang mempunyai keterbatasan akan ruang garasi dan sempitnya jalan serta gang. Dengan lebar 120 cm, Arina akan mudah dan leluasa berkeliaran di gang-gang di kota. Demikian juga dengan panjangnya yang kurang dari 300 cm, Arina mudah diparkir di garasi rumah-rumah tipe 21 sekalipun. Selain itu, Arine juga memiliki model feeder ambulans.
Mobil yang diproduksi oleh PT Super Gasindo Jaya di Rangkasbitung, Banten ini, menggunakan bahan bakar bensin dan gas CNG, dan sudah memenuhi standardisasi Euro III, sehingga ramah lingkungan. Mobil ini berkapasitas 650 cc, 4 percepatan manual, dapat dipacu hingga kecepatan 100 km/jam. Konsumsi gasnya 1 kg untuk 20 km. Mobil nasional yang sudah mengandung 90% kandungan lokal ini pun, dijual dengan harga Rp 40-60 juta on the road. Tawon akan memiliki 2 segmentasi pasar, yaitu sebagai pengganti bajaj, serta untuk mobil penumpang pribadi. Tawon memiliki mesin silinder kembar 650 cc (39,7 cu in) buatan Tiongkok namun mempunyai TKDN 90%, kecepatan maksimal 90 km/h (56 mph). Tawon ditawarkan dalam tiga tipe, yakni bak terbuka, minivan, dan model Tawon yang dapat mengangkut lebih dari tiga orang, dan telah diuji dengan berjalan dari Rangkasbitung ke Surabaya selama 19 jam dengan kecepatan maksimum 100 km/jam dan diluncurkan kembali pada bulan Januari 2012.[11][120][125] NIK telah dirilis pada bulan Juni 2008.[121]
PT Super Gasindo Jaya kemudian juga menampilkan mobil nasional bernama Nuri yang ditunjukkan kepada publik pada bulan Juli 2010, yang merupakan saudara dari mobil Tawon. Nuri adalah hatchback 5 pintu yang akan didukung dengan mesin 800 cc dan menerapkan teknologi dual fuel (bensin dan LPG). Proyeksi harga Nuri adalah sekitar Rp 50 juta.
Fin Komodo adalah kendaraan offroad jenis cruiser yang sangat lincah dan handal untuk digunakan sebagai kendaraan penjelajah. Bobotnya sangat ringan sehingga tenaga yang diperlukan untuk melaju relatif kecil, akibatnya konsumsi bahan bakar relatif irit. Untuk medan hutan, biasanya jarak tempuh sepanjang 100 km dapat dilalui dalam 6-7 jam dengan konsumsi bahan bakar kurang lebih hanya 5 liter, sedangkan kapasitas tangki 20 liter, sehingga dapat bertahan di dalam hutan selama 7x4 jam atau 4 hari perjalanan siang hari.
Komodo adalah kendaraan segala medan produksi PT Fin Komodo Teknologi, kendaraan ini di desain untuk menjelajah segala medan dan hanya bermesin 180 cc. Pada tahun 2009 dikeluarkan juga Komodo versi transmisi otomatis dengan mesin berkapasitas 250 cc. Pada tahun 2009, Komodo ditawarkan dengan harga antara Rp 60 juta. Mobil ini memiliki kecepatan maksimal 60 km/h (37 mph),[126] dan NIK telah dirilis pada bulan Desember 2007.[121]
Komodo diklaim merupakan hasil rancang bangun dari para insinyur yang berpengalaman dalam mendesain dan membangun pesawat terbang, sehingga dihasilkan kendaraan yang ringan dan stabil sebagai hasil kalkulasi formula yang biasa dipakai dalam struktur pesawat terbang, ringan, tetapi kuat. Komodo menggunakan mesin CVT 250 cc 4 tak otomatis dengan 2 persneling (maju dan mundur) hasil rancang bangun PT Fin Komodo Teknologi dengan sistem OEM ke pabrikan.
GEA adalah mobil perkotaan (city car) produksi kerjasama antara PT Industri Kereta Api dan BPPT. Mobil ini menggunakan mesin 640 cc asli buatan Indonesia, hasil riset BPPT. Dalam tahap pengembangan, terlihat badan mobil terbuat dari serat kaca atau fiberglass dan berkapasitas 5 orang. Selain itu, fitur dan spesifikasi lainnya adalah injeksi Bahan Bakar Elektronik, kemudi roda depan, dimensi 3.320×1.490×1.640 mm (130,7×58,7×64,6 in), jarak antar roda 1.965 mm (77,4 in), kecepatan maksimal 90 km/h (56 mph), dengan harga Rp40 juta. GEA direncanakan digunakan sebagai mobil polisi,[120][127] dan NIK untuk mobil inipun telah dirilis pada bulan Mei 2007.[121]
Mobil Wakaba (Wahana Karya Anak Bangsa) adalah buatan komunitas otomotif dan Disperindag Jawa Barat. Kendaraan ini dirancang untuk berbagai jenis, yakni mobil pengolah lahan, mobil angkut hasil pertanian, mobil pengolahan hasil pertanian, mobil angkutan umum pedesaan, mobil perkebunan serta mobil penjualan.
Maha Era Motor, dengan merek Mahator, mesin 650 cc (39,7 cu in), kecepatan maksimal 90 km/h (55,9 mph), dengan harga Rp50 juta, NIK telah dirilis pada bulan Juni 2007.[121] Mahator merupakan mobil off-road dengan TKDN 60%, sisanya impor dari Tiongkok.[128]
Esemka adalah produsen mobil lokal, awalnya merupakan hasil rakitan siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di beberapa daerah di Indonesia yang bekerja sama dengan institusi dalam negeri dan beberapa perusahaan lokal dan nasional dengan sistem rebadge. Kandungan komponen lokal berkisar antara 50-90%. Perakitan Esemka menggunakan knock-down kit mobil Cina seperti Chery Tiggo untuk Rajawali I, Foday Explorer 6 untuk Rajawali I Alpha dan Jonway A380 untuk Esemka Rajawali R2 yang kemudian di-rebadge menggunakan logo Esemka. Sejarah Esemka bisa dikatakan sangat terkait dengan politik, terutama dengan presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo yang pertama kali memperkenalkannya saat ia menjadi Wali Kota Surakarta pada 2012. Karena itulah, para kritikus Jokowi sering mengungkit-ungkit Esemka yang memang sampai saat ini kurang terdengar gaungnya.[129][130] Akan tetapi, patut diakui juga bahwa Esemka dapat dianggap sebagai salah satu calon mobnas paling dikenal setelah Timor.
Mobil Esemka pertama dikenal sebagai Esemka Digdaya, hasil karya siswa SMKN 1 Singosari Malang (itulah kenapa pabriknya disebut ESEMKA). Kendaraan ini berjenis MPV dan dipamerkan dalam Pameran Produk Indonesia 2009 Di Kemayoran, Jakarta. Tenaga penggerak menggunakan mesin eks Timor 1500 cc. Mobil Esemka Digdaya dirancang multifungsi, baik untuk kenyamanan berkendara maupun niaga, kuat menampung hingga lima orang, dan kabin belakangnya bisa mengangkut sepeda atau barang belanjaan. Mobil Digdaya dibanderol dengan harga di bawah Rp 150 juta. Selain Esemka Digdaya, juga muncul Esemka Rajawali bermesin Esemka 1.5i, 1500 cc multi-point injection yang mampu menampung 7 orang dan dilengkapi sederet fitur. Digdaya dan Rajawali mempunyai spesifikasi mesin dan bodi yang sama, dalam pilihan antara lain bensin berkapasitas 1800 cc, 2000 cc, dan 2200 cc dan diesel sudah disiapkan 2500 cc.
Hal yang paling menentukan dari kemunculan Esemka adalah ketika mobil tersebut digunakan sebagai mobil dinas oleh Jokowi saat masih menjabat walikota Solo. Publik umumnya mengenal mobil yang digunakan Jokowi tersebut merupakan Esemka Rajawali buatan SMKN 2 Surakarta dan SMK Warga Surakarta, yang dipilih Jokowi ketika ia melihatnya di pameran hasil kreasi siswa di Ngarsapura, Solo. Pada 2 Januari 2012, mobil tersebut kemudian diserahkan ke Jokowi.[131][132] Akan tetapi, ada versi lain yang menyebutkan bahwa SMKN 1 Trucuk, Klaten (yang kemudian menggandeng 15 SMK termasuk dua SMK di Surakarta diatas) adalah asal dari mobil yang digunakan Jokowi.[133] Klaim ini didukung oleh Sukiyat, seorang guru SMKN 1 Trucuk yang mengaku sebagai "pengagas" mobil tersebut.[133][134] Menurutnya, ialah bersama murid-muridnya yang merakit mobil-mobil Esemka tersebut pada 2007-2010, yang diberi nama Kiat Esemka dan mereka kemudian menyerahkannya ke Jokowi setelah Sukiyat menawarkan kepadanya.[131][135][136] Klaim Sukiyat ini dibantah oleh salah satu guru SMKN 2 Surakarta, Dwi Budhi Martono yang menyebut bahwa Sukiyat hanya membantu melatih siswa-siswa SMKN 2 Surakarta untuk menyempurnakan mobil Esemka karya mereka pada 2011, dan proyek Esemka sebenarnya berasal dari Direktorat Pembinaan SMK Kemendikbud yang kemudian menunjuk 5 SMK (SMKN 2 Surakarta, SMKN 5 Surakarta, SMK Warga Surakarta, SMK Muhammadiyah 2 Borobudur, dan SMKN 1 Singosari) untuk mengembangkan mobil tersebut sejak 2007.[131] Belakangan, di bawah bantuan Sukiyat, menurut Dwi memang mobil tersebut diberi nama "Kiat Esemka", namun segera diubah karena merek aslinya hanya "Esemka" saja yang sudah dipegang hak mereknya di tangan PT Solo Manufaktur Kreasi.[131][137] Dalam catatan yang ada, memang Esemka Rajawali dan Garuda dirintis oleh 5 SMK tersebut, dengan menggandeng PT Autocar Industri Komponen.[138]
Yang pasti, kemudian Esemka timbul-tenggelam setelah Jokowi menjadi gubernur DKI dan presiden, meskipun diperkirakan ada ratusan unit yang sudah dibuat pada 2012-2015. Esemka kemudian sempat ingin dihidupkan kembali dengan membentuk PT Adiperkasa Citra Esemka Hero, perusahaan patungan PT Solo Manufaktur Kreasi dan PT Adiperkasa Citra Lestari (pimpinan eks-Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono) pada 21 April 2015. Mereka berencana untuk memproduksi Esemka dengan menjalin kerjasama dengan perakitan Geely di Cileungsi, Jonggol, meskipun dalam perkembangannya menghilang begitu saja kemudian tanpa alasan yang jelas.[131] Kemudian, ada yang mengaitkan kesepakatan antara perusahaan Hendropriyono, PT ACL dengan Proton Malaysia pada Februari 2015 adalah untuk memuluskan mobil Esemka, namun dibantah oleh Direktur Teknik PT Solo Manufaktur Kreasi Dwi Budhi Martono.[139] Di satu sisi, beberapa pihak lain dari PT Adiperkasa Citra Esemka Hero mengiyakan rencana kerjasama Esemka-Proton, namun kandas pada 2016 akibat situasi politik di Negeri Jiran dan ketidakcocokan produk.[140][141] Baru pada 2019, Esemka berhasil meluncurkan produknya bernama Esemka Bima (pikap) dan Esemka Garuda 1 (SUV), kali ini langsung oleh PT Solo Manufaktur Kreasi.[142][143] Esemka Bima saat ini nampak lebih dipasarkan dibanding Garuda.[144] Produksi Esemka baru ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 6 September 2019. Pada saat peresmian, Esemka yang memiliki kapasitas produksi 12.000 unit/tahun dengan TKDN yang mencapai 90% juga bekerjasama dengan PT INKA dan Pertamina.[145]
Setelah dibuat selama 6 bulan dengan biaya Rp 1,5 miliar,[146] di tahun 2012, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika LIPI berhasil mengeluarkan bus listriknya yang diluncurkan oleh Kemenristek pada 26 Juni 2012. Bus yang dirintis oleh Abdul Hapid dan kawan-kawan sejak 1997 ini diklaim mampu membawa 15 penumpang dengan kecepatan maksimal 100 km/jam, dan agar bisa melaju hingga kecepatan maksimal, membutuhkan energi 53 kWh. Secara umum, sumber tenaga bus listrik LIPI adalah baterai lithium buatan AS sebanyak 100 buah yang bisa dirangkai untuk energi sebesar 7.000 watt. Bus LIPI ini diklaim mampu menurunkan biaya operasional lebih dari 50% dan menurunkan biaya perawatan hingga 70%.[145][147] Tidak hanya itu, bus listrik LIPI direncanakan akan dikembangkan menjadi trem di Yogyakarta dan bus rapat.[148][149] Akan tetapi, saat ini bus tersebut hanya diproduksi prototipenya saja.
Mobil Listrik Ahmadi (kemudian dikenal dengan nama Evina) merupakan salah satu mobil listrik nasional. Prototipenya dibuat oleh Dasep Ahmadi di Jawa Barat dan akan disempurnakan untuk diproduksi massal pada tahun 2013. Sempat didekati oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, bisnis ini gagal total ketika perusahaan Dasep, PT Sarimas Ahmadi Pratama, tidak bisa memenuhi ekspetasi dengan kegagalan mobilnya ketika digunakan sejumlah perusahaan BUMN yang membelinya, sehingga ia dihukum penjara 7 tahun pada Maret 2016 atas tuduhan penipuan.[150]
Tucuxi merupakan salah satu mobil listrik nasional. Purwarupanya dibuat oleh Danet Suryatama di Yogyakarta, yang sayangnya pada 5 Januari 2013, mengalami kecelakaan saat diujicoba oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Untuk tahun 2014 Mobil Nasional Bertenaga Listrik dipersiapkan pemerintah dengan melibatkan 6 Universitas yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Politeknik Manufaktur Bandung. Sebetulnya kendaraan listrik telah memiliki sejarah yang panjang di negara ini. Beberapa warga negara sudah lama menggunakan sepeda motor listrik, baik untuk keperluan pribadi maupun usaha. Juga pada tahun 2007 telah terbentuk Komunitas Kendaraan Listrik Indonesia, bahkan mendahului komunitas sejenis di negara-negara tetangga. Pada awalnya banyak petugas kepolisian yang heran dan menilang beberapa anggota, tetapi di antara anggota komunitas kemudian saling bertukar informasi dan akhirnya petugas kepolisian di berbagai wilayah pun memaklumi dan menerima keberadaan kendaraan ini. Dan usaha sosialisasi ini tidak berhenti hanya kepada kepolisian, tetapi juga hingga badan eksekutif maupun legislatif.
Mahesa adalah singkatan dari Moda Angkutan Hemat Pedesaan, namun juga bisa diartikan kerbau dari Klaten, Jawa Tengah. Mobil ini dirintis oleh Sukiyat (yang berperan dalam perintisan Esemka) dengan bendera PT Kiat Inovasi Indonesia,[151] dan terinspirasi dari kendaraan lokal pertanian bernama "Gandrong". Mahesa menggunakan mesin diesel 650 cc, dan berbahan bakar solar. Mobil yang memiliki kecepatan maksimum 55 km/jam ini tersedia dalam single cabin ditambah alat pertanian di belakangnya, pikap dan double cabin.[152] Rencananya saat diperkenalkan pada 2017, Mahesa akan dijual di kisaran Rp 60-70 juta sebelum pajak.[153] Karena dikerjakan dengan tangan, mobil yang dikatakan sudah dipesan hingga 6.000 unit ini hanya mampu diproduksi 1.000 unit/tahun, saat itu direncanakan dimulai pada Agustus 2018.[154] Meskipun PT Kiat kemudian bergabung membuat AMMDes dan Mahesa dijanjikan akan tetap diproduksi, namun mobil ini sampai sekarang hanya memiliki prototipenya saja dan belum mendapat izin.[155]
AMMDes (Alat Mekanis Multiguna Pedesaan, awalnya juga dikenal sebagai KMW)[151] adalah produk dari PT Kiat Mahesa Wintor Indonesia (PT KMWI), yang bekerjasama dengan 70 industri komponen nasional, diklaim sebagian besar adalah UMKM. AMMDes dibekali mesin 500 cc 1-silinder berbahan bakar diesel yang diklaim memiliki kemampuan menanjak hingga sudut 30 derajat dan memiliki daya tampung barang hingga 700 kg. Diluncurkan sejak 2018, mobil pedesaan sederhana ini dibanderol dengan harga Rp 70 juta, dengan target masyarakat desa, karena itu juga dilengkapi fasilitas seperti penggiling padi.[145][156] Mobil AMMDes lahir dari kolaborasi beberapa pihak yang telah membuat prototipe kendaraan desa sebelumnya, yaitu PT Kiat Inovasi Indonesia (Mahesa) dan PT Velasto Indonesia (anak usaha produsen komponen otomotif PT Astra Otoparts Tbk).[151]
Mobil Anak Bangsa digarap oleh PT Mobil Anak Bangsa sejak 2016, berbentuk bus listrik yang prototipenya selesai pada 2019.[157] Bus MAB direncanakan sebagai pengangkut penumpang dengan maksimal kapasitas 60 orang yang memiliki panjang 12 meter dan lebar 2,5 meter. Salah satu penyokong mobil ini, Moeldoko, menyebut bahwa bus ini sudah dipesan beberapa pihak.[145][158]
Meskipun tidak pernah ada istilah "sepeda motor nasional", namun tercatat ada beberapa perusahaan yang pernah berusaha mengembangkan merek sepeda motor dari dalam negeri. Kehadiran "motor nasional" sempat mengemuka pada tahun 1995, ketika Memperindag sempat meminta beberapa pabrikan motor untuk membuat model sepeda motor asli Indonesia.[159] Beberapa upayanya adalah:
Industri mobil nasional indonesia tergabung dalam organisasi Asianusa. Asianusa beranggotakan AG-Tawon, Wakaba, Fin-Komodo, Merapi, Gea, Borneo, Kancil, dan ITM. Kebanyakan mobil produksi anggota asosiasi ini menggunakan mesin buatan Tiongkok (di bawah 750cc), sementara komponen lain dibuat di dalam negeri.
Pernah di tahun 2012, Kementerian Perindustrian dan Asianusa setuju untuk memproduksi mobil kecil dengan kapasitas mesin 650-700 cc dan platform yang sama. Platform tersebut meliputi rangka bawah (dimensi dan suspensi mobil) serta rangkaian tenaga (mesin dan transmisi). Dengan platform yang sama, titik impas diharapkan dapat dicapai pada tingkat produksi 10.000 unit/tahun, yang jika tanpa platform yang sama, baru dapat dicapai pada tingkat produksi 28.000 unit/tahun. TKDN dari mobil kecil ini adalah sekitar 80% dan produksinya diharapkan dapat dimulai pada tahun 2013.[194]
Sebagai penyelenggara dan situs lelang mobil bekas terbesar di Indonesia, JBA menyediakan berbagai jenis mobil bekas berkualitas dengan harga yang sangat terjangkau. Ikuti lelang mobil bekas online di JBA dengan mudah dan praktis.
Anda dapat mengikuti lelang mobil dari mana saja dan kapan saja melalui website resmi atau aplikasi JBA. Cukup dengan beberapa klik, Anda dapat memilih mobil bekas yang Anda inginkan dan membuat penawaran. Anda dapat mengunduh aplikasi JBA terlebih dahulu melalui Play Store dan App Store.
Dalam proses lelang mobil, setiap calon pembeli dapat menawarkan harga sesuai dengan yang diinginkan. JBA memastikan setiap penawaran dan transaksi dilakukan dengan transparan dan fair. Soal keamanan tidak perlu khawatir, JBA memberikan jaminan transaksi yang dilakukan dengan aman.
Bila Anda mengikuti lelang mobil online di JBA, Anda dapat memperoleh kendaraan impian dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga pasar. Jadi, tunggu apalagi? Segera kunjungi website resmi atau aplikasi JBA dan ikuti lelang mobil online sekarang juga!